Waktu yang Salah (Part 1)

photo_camera Sumber Gambar: StockSnap
Siang itu hujan turun begitu deras, Sesosok lelaki terduduk diatas kasur yang empuk tengah memandang kearah jendela, mengepalkan kedua tangannya seraya menahan derasnya air mata yang mengalir dipipinya. Isak tangis Ulil pun tersamarkan oleh suara riuhnya angin yang menyambut sang hujan. Seorang lelaki yang tegar pun begitu rapuh jika hatinya tersakiti.

Ulil baru saja putus dengan pacarnya, bertahun-tahun menjalin hubungan bersama hingga berkomitmen untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius harus pupus begitu saja bak kemarau setahun terhapus hujan sehari. Tak ada yang menyangka jika hubungan mereka akan berakhir dengan tiba-tiba, baik teman maupun orang tuanya Ulil masih tidak percaya bahwa hubungan mereka berdua akan berakhir seperti ini. Kini Ulil harus merelakan kepergian belahan jiwanya, melepaskan tahta sang ratu yang menduduki singgasana hatinya.

Sahabat Ulil yang mengetahui kabar ini pun tidak tinggal diam, mereka langsung bergegas menemui Ulil, mencoba menghiburnya setidaknya menyadarkan Ulil bahwa dia tidak sendiri, masih ada sahabatnya yang selalu ada dikala dia senang maupun sedih. Sahabatnya Ulil yang hadir ketika itu adalah Adi dan Supri.

"Udah lil jangan berlarut- larut dalam kesedihan, yang penting lu udah berikan semuanya yang terbaik, persoalan dia yang mendua biar karma yang membalas", ucap Supri sembari menepuk-nepuk pundak Ulil.

"Iya lil, lagian masih banyak kok wanita diluar sana, bahkan jumlah wanita tiga kali lipat dari jumlah pria di dunia ini, jadi jangan berkecil hati peluang buat dapetin wanita yang lebih baik persentasenya pasti lebih besar", ucap Adi, seorang buaya yang sering gonta-ganti pasangan.

"Oh iya kemaren gue abis chatingan di Messanger sama adik kelas kita, itu loh cewek yang dulu demen banget sama lu", sambung Adi.

"Siapa? Dea bukan?", tanya Ulil.

"Iya Dea, sekarang dia udah beda loh, makin cakep, coba aja lo deketin", jawab Adi.

"Nanti deh gue pintain nomor WA-nya, entar gue kirim ke lu", sambung Adi.

Ulil tau bahwa sahabatnya sedang berusaha menghibur dirinya dengan memberikan solusi terbaik menurut versi mereka, namun kenyataanya tidak semudah itu, karena yang Ulil rasakan bukan sekedar luka yang mudah untuk diobati bahkan mungkin obatnya pun tidak tersedia di apotik.

Beberapa minggu berlalu, kini Ulil hanya berteman sepi, handphone yang setiap saat selalu ramai dengan suara notifikasi dari pacarnya kini bak rumah kosong yang tak berpenghuni. Dalam kesendirian Ulil pun teringat akan kata-kata dari Adi, sahabatnya yang memberi solusi untuk mendekati adik kelasnya yang dulu menyukai Ulil. Tanpa berfikir panjang Ulil pun mencoba menghubungi Adi untuk meminta nomor handphone adik kelasnya itu, tak berapa lama Adi pun membalas chat dari Ulil.

"Penasaran juga kan lo!", jawab chat dari Adi.

"Nih nomor handphone si Doi, kalau ada kesempatan jangan disia-siain ya. Hajar aja", Sambung dari Chatingan Adi.

"Oke bro, makasi banyak :P ", jawab Ulil.

Ulil tidak ingin berlarut-larut dalam kubangan kesedihan masa lalunya yang menyakitkan, dia ingin segera membuka lembaran baru, dengan orang baru tentunya. Mungkin itu salah satu cara untuk membuatnya merasa hidup kembali. " snift...huh" menghela nafas panjang, Ulil mencoba memberanikan diri untuk menghubungi adik kelasnya itu.

"Hallo De apa kabar? ", chat pertama ulil kepada Dea, adik kelasnya.

Satu menit berlalu...

Lima menit berlalu...

Ulil pun masih stay di depan layar Hpnya itu, berharap mendapat balasan chat dari Dea dengan cepat. Namun Dea belum juga membalas chat dari Ulil.

Lima belas menit berlalu..

Tiba-tiba terdengar suara notifikasi chat yang masuk pada Hpnya Ulil, dengan sigap Ulil langsung mengecek Hpnya, ternyata benar suara notifikasi itu adalah balasan chat dari Dea. Pucuk dicinta ulam pun tiba.

"Maaf ini siapa ya?", jawab chatingan dari Dea.

"Ini aku, Ulil kakak kelas kamu waktu di SMA", balasan chat ulil kepada Dea.

"Oh kak Ulil, alhamdulilah kabar aku baik kak. Kakak sendiri apa kabar?", jawab Dea.

Lalu mereka pun saling berbalas chat. Hari itu Hp Ulil pun menjadi ramai kembali dengan notifikasi chat dari Dea. Tanpa sadar Ulil mulai melupakan tentang masa lalunya walau hanya sementara.

Beberapa hari berlalu, kini Ulil semakin intents dengan Dea, mereka berdua semakin terlihat akrab walau sebatas berbalas chat. Hingga akhirnya Ulil memutuskan untuk mengajak Dea bertemu secara langsung. Tanpa menunggu jawaban yang lama Dea pun menyetujuinya untuk bertemu secara langsung. Mereka pun menyusun waktu dan tempat untuk saling bertemu.

Akhirnya hari itu tiba, waktu menunjukkan pukul 15.30, Ulil pun bersiap- siap untuk bertemu Dea, dengan hati yang diselimuti rasa gembira sebelum pulang kerja Ulil merapihkan meja kantornya sembari tersenyum kecil. Waktu menunjukkan pukul 16.00, Ulil segera bergegas meninggalkan kantor dan pergi ke tempat mereka bertemu. Sepanjang perjalanan Ulil merangkum beberapa pertanyaan untuk nantinya dijadikan sebagai bahan obrolan.

Setelah setengah jam perjalanan dengan mengendarai sepeda motor akhirnya Ulil sampai ditempat tujuan mereka akan bertemu. Melihat banyak meja yang masih kosong, Ulil pun menentukan posisi meja yang nyaman untuk mereka berdua. Dengan rasa tak sabar untuk bertemu, Ulil mengirimkan chat kepada Dea. "De aku sudah sampai nih", namun tak ada chat balasan dari Dea, Ulil berfikiran kalau Dea masih dalam perjalanan menuju ketempat mereka bertemu.

Setengah jam berlalu namun Dea belum juga datang, dalam benak fikiran Ulil bertanya-tanya "apakah Dea tidak jadi datang?", "apakah Dea lupa kalau hari ini kita janji ketemuan?". Ulil mulai khawatir mereka batal ketemuan.

Selang berapa lama terlihat seorang wanita mengenakan pakaian serba berwarna hijau mengendarai sepeda motor Honda Scoopy tengah memasuki area parkiran motor.

"Apakah itu Dea?", tanyaku dalam hati.

Wanita itu berjalan perlahan mendekati Ulil, dan...

"HOLY SHIT!"

Wanita yang berpakaian serba hijau yang sedang berjalan mendekati Ulil itu memang Dea, wanita yang ditunggunya dari tadi. Dea berjalan semakin mendekat, ditiap langkah Dea berjalan detak jantung ulil pun semakin berdetak dengan cepat. Waktu berjalan seolah melambat, senyuman dari bibirnya yang tipis dengan langkah kakinya yang gemulai diiringi hembusan angin yang membelai baju dan kerudungnya serta wangi parfume yang dikenakannya tercium menenangkan, semesta seolah menyambut kehadirannya. Ulil seolah sedang merasa dalam adegan cinta di film india.

Dea pun duduk tepat didepan Ulil.

"Hallo ka Ulil udah lama ya nungguin aku?"

"Maaf ya kak aku kena macet waktu perjalanan ke sini", ucap Dea.

"CANTIK!"

Itu kata-kata pertama yang terucap dalam hati Ulil saat melihat Dea yang duduk tepat dihadapannya. Entah sihir apa yang Dea berikan kepada Ulil hingga dia tak mampu memalingkan pandangan selain memandang indahnya wajah Dea.

"E...engga begitu lama kok, engga apa-apa De yang penting sekarang kamu udah disini", jawab Ulil.

Pemandangan yang tidak bisa dipercaya, Dea yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Dulu Dea hanya wanita polos dan terlihat biasa saja, sekarang Dea terlihat sangat cantik, teramat cantik mungkin, serta mengenakan pakaian yang terlihat fashionable. Sedangkan Ulil dari dulu hingga sekarang penampilannya begitu saja tak ada yang berubah, berpakaian kemeja lusuh, model rambut yang berantakan, dan beralaskan sepatu yang lem solnya sudah hampir terlepas. Memang sudah sedari dulu Ulil cuek akan penampilannya.

"Kak Ulil udah pesen makan belum?"

"Oh belum De, kakak nunggu kamu biar mesen bareng"

"Yaudah kita Pesen makanan yuk?"

"Ayook"

Mereka pun memesan makanan, sambil menunggu makanan datang, Ulil mencoba memulai obrolan dengan rangkuman pertanyaan yang sudah dia siapkan sebelumnya. Ulil selalu terpesona ketika mendengarkan Dea berbicara, bibir tipisnya yang manis serta bahasanya yang tertata membuat Ulil betah menjadi pendengar yang setia.

Dea memang sudah berbeda, dulu untuk mengobrol pun dia selalu memasang wajah tersipu malu tidak berani menatap lama-lama, bahkan bicaranya pun suka terbata-bata. Sekarang setiap kali ulil berbicara dea tak pernah melepas pandangannya dan tiap dea bicara kata-katanya selalu tertata, bahkan ketika sedang mendengarkan ulil berbicara dia meminta izin untuk membalas chat dahulu malah sekarang ulil yang merasa tersipu malu oleh dea.

Namun ketika mereka tengah asik bercengkrama tanpa disadari Ulil selalu memperhatikan tangan kanan Dea, ada benda yang terbuat dari logam yang melingkar dijari manisnya Dea. Ketika Dea sedang asik berbicara dengan berani Ulil memotong pembicaraan Dea dan langsung mengajukan pertanyaan kepada Dea.

"De, kamu sudah terikat ya?"

"Apa, terikat? terikat apa maksudnya ka?"

"Iya, itu", Sambil menunjuk ke jari manis Dea, tempat cincin itu melingkar.

"Oh cincin ini? ya kak aku sudah terikat, tunangan maksudnya"

JLEB!

Dengan perlahan ulil menelan ludah.

"OH SHIT!, LELAKI MANA YANG BERUNTUNG MENDAPATKAN HATINYA DEA!", amarah Ulil dalam hati.

Seketika selera makan Ulil hilang. Dia pun menyalahkan dirinya sendiri, kenapa dulu Ulil menyia-nyiakan Dea, sekarang Ulil malah menyesal. Memang penyesalan itu selalu datang diakhir, kalau datang diawal namanya pendaftaran. Eeeh.

"Wah selamat ya De, jangan lupa undang Kakak pas hari H nya ya"

"Siap, pastinya dong kak, kakak bakal aku undang"

Lalu mereka melanjutkan makan sambil berbincang- bincang. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam, sudah saatnya Ulil dan Dea mengakhiri pertemuan itu. Dengan berat hati Ulil harus berpisah dengan Dea, apakah setelah pertemuan ini ulil akan bertemu lagi dengan Dea?, entahlah, Ulil tidak berharap banyak, apalagi setelah mengetahui kalau Dea sudah bertunangan. Rasanya, menjadi hal yang rumit untuk mendekati wanita yang sudah terikat. Mereka pun berpisah dengan mengendarai sepeda motornya masing- masing.

commentSilahkan Berkomentar

Boleh kok kalau mau berkomentar, tapi jangan mengandung SARA ya!

Posting Komentar

Boleh kok kalau mau berkomentar, tapi jangan mengandung SARA ya!

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama