Tentang Hujan dan Rasa Syukur

Setiba di stasiun bogor, turun dari kereta api, hujan deras menyambut kedatanganku. Gemuruh hujan sekaan suatu ucapan sambutan "Welcome to Bogor". Jalanan menjadi basah bahkan sebagian sudah terendam air hujan. Jengkel? Sudah pasti, walau sudah sedia payung bahkan tidak menutup kemungkinan sepatu yang aku kenakan menjadi basah. Berjalan ke dalam Stasiun sambil mengumpat dalam hati.

"HUJAN HUJAAAN TERUUS!, BIKIN BASAH AJA DAN NGEHAMBAT AKTIVITAS!"

"SEPATU BARU DICUCI, CELANA HITAM BUAT BESOK ENGGA ADA LAGI!"

"AARRGGGH!"

Bogor oh Bogor mengapa sering turun hujan

Berbagai ucapan kekesalan ingin melepas amarah dalam hati. Walau sebenarnya kita tidak boleh merasa kesal ataupun marah ketika hujan turun, karena hujan merupakan suatu rezeki dari Sang Maha Pencipta.

Sesampai di dalam Stasiun, payung ditutup dan dilipat, berteduh menunggu hujan reda. Ada banyak orang yang senasib dengan ku. Stasiun pun menjadi penuh dan mulai sesak.

Mereka ada yang duduk dilantai berbincang dengan temannya, ada yang memotret hujan untuk dijadikan status di media sosial, ada pula yang berdiri menengadah ke atas langit, menunggu tetesan terakhir air hujan.

Aku hanya berdiri terdiam, "banyak sekali manusia", kataku. Melihat sekeliling untuk mencari posisi yang enak untuk rebahan. "Ah disana, di belakang si bapak berjaket hitam ada tiang besi yang bisa untukku bersadar", fikirku.

Duduk, mengeluarkan ponsel dari saku celana, melihat notifikasi yang masuk, banyak sekali chatingan dari grup WhatsApp.

Melihat sekeliling, hujan masih deras, dan  orang berteduh semakin bertambah. Kesal ku semakin menjadi karena air hujan yang berhasil masuk ke dalam sepatuku, celanaku sedikit basah.

Lalu dari kejauhan aku melihat ada seseorang yang sibuk dengan pekerjaannya. Ditengah kerumunan orang yang berlalu lalang, ia tengah membersihkan lantai yang basah dan kotor dengan alat pel yang digenggam ditangannya. Dia adalah pegawai kebersihan di KAI.

Pekerjaannya menjadi sia-sia ketika hujan turun tak kunjung berhenti dan orang lalu lalang yang tak mau peduli, membasahi dan mengotori lantai yang baru saja dia bersihkan.

Aku hanya menggelengkan kepala

Apa dia kesal? Pasti dia kesal, mungkin merasa lebih kesal dari apa yang aku rasakan sekarang. Tapi dia bersabar dan menikmati setiap kayuhan alat pel yang dia gerakkan maju mundur.

Pekerjaanku tidak lebih melelahkan daripada pekerjaannya. Aku hanya bisa mengeluh. Aku merasa malu.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Dari sisi lain, aku melihat segerombolan anak kecil, berdiri diterpa derasnya hujan, menggenggam payung ditangannya. Baju dan celananya basah, badannya gemetaran kedinginan. Sesekali mengehembuskan nafas pada kedua telapak tangannya, berusaha menghangatkan diri. Berteriak menawarkan jasa ojek payung.  Bertelanjang kaki.

Hatiku menjadi sesak, dada serasa berat. Orang tua mana yang tega membiarkan anaknya melakukan pekerjaan tersebut. Anak seumuran itu ketika turun hujan deras seperti ini seharusnya tengah tertidur pulas di kasurnya yang empuk dengan selimut yang menghangatkan tubuhnya atau sedang bercanda tawa dengan keluarganya .

Rasa kesalku berubah menjadi iba.

Dulu, waktu aku masih kecil dan sedang bermain, ketika langit yang sudah mendung  mulai meneteskan air hujan, kedua orangtua ku selalu sibuk mencari anaknya, berteriak memanggil namaku lalu menyuruhku pulang karena akan turun hujan. Sebegitu khawatirnya kedua orangtuaku. Berbeda nasib dengan anak kecil yang sedang aku lihat sekarang.

Mereka bertelanjang kaki, mengenakan pakaian basah dengan tubuh menggigil kedinginan. Mungkin bagi anak kecil ini hujan menjadi sumber rezekinya untuk mendapatkan penghasilan tambahan selain dari uang jajan sekolah.

Jika nasibku dulu sama seperti mereka, apakah aku akan menjadi orang yang seperti sekarang?

Entahlah...

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Hujan turun kian semakin deras, namun suara tangisan bayi yang berada di belakangku terdengar begitu jelas. Ku balikkan badan,  mencari sumber suara tangisan tersebut. Lalu kulihat seorang wanita tengah berusaha menghentikan tangisan bayinya dalam pelukan. Sementara kedua tangannya memegang tangan kedua anaknya yang tidak bisa diam. Wanita tersebut membawa ketiga anaknya sendirian. Lalu kemana suaminya? Entahlah.

Tak bisa kubayangkan begitu repotnya, lelahnya,  wanita tersebut, lalu aku terbayang dengan diriku yang selama ini masih belum dikaruniai seorang anak.

Sudah empat bulan aku menikah namun belum juga dikaruniai seorang anak. Kadang aku mengeluh, selebihnya aku merasa kesal karena belum juga dikarunia seorang anak, namun setelah melihat wanita dengan ketiga anak tersebut membuat aku berfikir kembali, Allah lebih tau bahwa aku belum sanggup jika diberikan rezeki seorang anak. Mungkin aku harus membenahi diriku sendiri terlebih dahulu, memperbaiki apa yang kurang dalam diri ini, lebih dewasa, bertanggung jawab dan bijak dalam bersikap. Sebelum nantinya Allah berikan aku seorang anak.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Kata tersebut seolah tertuju hanya padaku. Ya, selama ini aku hanya bisa mengeluh dah mengeluh, tak sadar bahwa diri ini seharusnya lebih banyak bersyukur karena disekitar kita masih banyak orang yang kehidupannya lebih susah daripada kita sendiri.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Ah sudahlah, aku paham, aku sadar, aku kufur nikmat.

Pandanganku tertunduk kebawah, merasa malu walau hanya untuk melihatmu, hujan.

Hujan, aku mengsalahartikan kehadiran dirimu. Ternyata kehadiranmu saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyadarkanku agar tetap bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepadaku.

Aku hanya tidak peka arti kehadiranmu yang sebenarnya, atas manfaatmu selain menahanku di dalam stasiun ini.

Lengkungan bibirku berubah menjadi senyuman, lalu dalam diam ku terucap

"Terima kasih"

Sumber gambar  Muhammad Rafi Zidane

5 Komentar

commentSilahkan Berkomentar

Boleh kok kalau mau berkomentar, tapi jangan mengandung SARA ya!

  1. Iya sih, kita kadang sering lupa diberikan banyak nikmat oleh Allah SWT tapi tidak kita syukuri, contoh nya saja nikmat sehat, giliran sakit baru sadar deh kalo sehat itu mahal.😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mas, kita malah lebih sering melupakan kenikmatan yang sudah Allah SWT berikan dibanding mensyukurinya.

      Hapus
  2. Mas bro, ijin adaptasi tema bloggernya ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada email yang bisa dihubungi ga bro? Mau tanya desain bloggernya

      Hapus

Posting Komentar

Boleh kok kalau mau berkomentar, tapi jangan mengandung SARA ya!

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama